Dalam beberapa dakade terakhir, sempat
terjadi perdebatan panjang dalam kajian Ilmu Kalam. Permasalahan
terpenting yang menjadi tema perbincangan pada masa permulaan Islam. Perdebatan-perdebatan
yang terjadi terkesan terlalu sibuk membahas Tuhan (dan atribut-atribut langit
lainnya) dan lupa membahas peran manusia sebagai khalifah di bumi perdebatan
tentang tema tauhid perbuatan Tuhan dan manusia dan keadilan Tuhan. Terus
apakah sifat Tuhan menyatu dengan zat-Nya adalah perdebatan yang sangat
melelahkan dan sampai sekarang tidak ditemukan jawaban atas hal itu, karena itu
terdapat suatu terobosan paradigma baru tentang ilmu kalam yaitu apa yang
disebut sebagai Paradigma Teantropologis.
Paradigma Tentropologis adalah sebuah
kerangka berpikir atau pandangan dan kajian manusia akan Tuhan dan berusaha
menjelaskan tentang berbagai macam bentuk perbedaan dan persamaan dalam aneka
ragam kebudayaan manusia. Karena dalam perspektif perkembangan masyarakat
modern dan postmodern, Islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap
problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidak berdayaan
perempuan dan sebagainya). Diskursus teologi Islam yang pada mulanya hanya
berbicara tentang Tuhan (teosentris) kini beralih pada persoalan-persoalan
kemanusiaan universal (antroposentris).
Engineer,(1999) mengatakan bahwa “masyarakat
yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota lainnya yang lemah
dan tertindas tidak dapat disebut sebagai masyarakat Islam. Kemudian dengan
adanya konsep ini akan ditemukan sebuah persepsi yang lebih luas dalam
memandang agama. Sehingga dengan adanya paradigma Teantropologis, maka kajian
ilmu kalam dapat lebih terbuka dalam membahas esensi kehidupan manusia.
Engineer,(1999) menambahkan pada
dasarnya, agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindarkan diri
dari sekedar menjadi pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus
mentransformasikan diri menjdi alat yang canggih untuk melakukan perubahan
sosial. Teologi, meskipun berasal dari teks- skriptural yang diwahyukan dari
Tuhan, sebagian bersifat situasional-kontekstual dan normatif-metafisis. Ruhnya
yang militan tampak menonjol ketika tetap menidentifikasikan dirinya dengan
kaum tertindas.. Jika mengkaji lebih jauh lagi, Iqra’ sebagai ayat pertama yang
turun bukanlah tanpa sebab yang jelas. Pada saat itu, Arab tidak mengenal
budaya menulis. Tetapi Al Qur’an menekankan pena sebagai alat untuk menyebarkan
ilmu pengetahuan. Hal ini memberi dampak liberatif bagi bangsa Arab, dari
bangsa yang membenci ilmu pengetahuan menjadi bangsa yang tekun belajar dan
menemukan rahasia alam selama berabad-abad. Cara pandang bangsa Arab pada
Jahiliyah yang bias gender dibongkar habis oleh Islam. Islam mendudukan
laki-laki dan perempuan sama derajatnya, hanyalah yang paling bertaqwa yang
memiliki derajat lebih dimata Allah. Dalam bidang ekonomi pun Al Qur’an
menekankan pada keadilan. Al Qur’an memerintahkan kepada orang-orang beriman
untuk menyumbangkan kelebihan hartanya (Qs.2 :219). Toleransi merupakan hal
yang dijunjung tinggi dalam Islam. Al Qur’an menegaskan dengan jelas, tidak ada
paksaan dalam agama (QS.2: 256), dan bagimu agamamu, bagiku agamaku (Qs. 190:
6).
Bagikan