SILAHKAN ISI BUKU TAMU



Selasa, 13 Juli 2010

PGMI DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


Menurut Arifin (2003), salah satu tuntutan Gerakan Reformasi tahun 1998, ialah diadakannya reformasi dalam bidang pendidikan. Forum Rektor yang lahir 7 November 1998 di Bandung, juga mendeklarasikan perlunya reformasi budaya, melalui reformasi pendidikan. Tuntutan reformasi itu, dipenuhi oleh DPR-RI, bersama dengan pemerintah, dengan disahkan Undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) tanggal 11 Juni 2003 yang lalu. Menurut Arifin (2003), reformasi membawa gagasan baru tentang perlunya paradigma baru, meskipun istilah itu, sudah tidak persis lagi dengan konsep aslinya. Istilah paradigma baru tersebut mula mula dikenal dalam ilmu sosial, dengan tokoh utamanya Thomas Kuhn (1974).
Kuhn menjelaskan bahwa perkembangan ilmu sosial sangat berbeda dengan perkembangan ilmu alam. Jika
ilmu alam berkembang secara evolusi dan akumulatif, maka ilmu sosial berkembang secara revolusi dan tidak secara akumulatif.


SUKA BLOG KU???

 


Dalam menjelaskan perbedaan perkembangan itulah, Kuhn menggunakan konsep paradigma, yaitu bahwa dalam masa tertentu, ilmu sosial dikuasai oleh suatu paradigma, kemudian
Paradigma itu merosot, dan digantikan oleh paradigma baru yang tidak ada kaitannya dengan paradigma lama yang digantikannya. Itulah sebabnya perkembangan ilmu sosial, terjadi secara revolusi.
Reformasi dalam pendidikan dan bahkan dalam semua bidang sosial dan politik, pada dasarnya adalah revolusi dan penjungkirbalikan, yaitu perubahan yang mendasar, terhadap pokok persoalan nasional dan bidang sosial dan politik Tuntutan reformasi yang amat penting adalah demokratisasi, yang dapat ditanggapi melalui dua segi, yaitu pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otonomi daerah). Dalam konteks pendidikan, untuk menjamin
Terselenggaranya pendidikan yang bermutu, maka pemerintah (pusat) dan Pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 1-2 dan pasal 44 ayat 1-3).
Pendidikan Islam sebagai salah satu sub sistem pendidikan nasional di Indonesia. Rahim (2001) mengatakan, merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh umat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pendidikan Islam yang tersebar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menata dan mengelolanya, sesuai dengan sistem pendidikan nasional. Dalam dua perspektif di atas, pendidikan Islam di Indonesia selalu menjadi lahan pengabdian kaum muslimin dan sekaligus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Secara makro, pendidikan Islam di Indonesia bersentuhan dengan sistem pendidikan nasional dan faktor-faktor eksternal lain. Sedangkan secara mikro, pendidikan Islam dihadapkan pada tuntutan akan proses pendidikan yang efektif sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.
Pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia, menurut Steenbrink (1999) dalam berbagai bentuk dan coraknya, merupakan upaya pendidikan untuk masyarakat secara terbuka. Sampai munculnya pesantren, lembaga pendidikan di Indonesia sebelumnya cenderung bersifat sangat eksklusif.
Pada masa pra-Islam, selain para rohaniawan Hindu, tidak semua orang dapat mengikuti pendidikan yang terlembagakan. Sedangkan pada masa penjajahan, sekolah-sekolah pada mulanya didirikan untuk kalangan bangsawan dan kaum penjajah. Baru setelah adanya desakan gerakan pencerahan dan perjuangan kalangan terdidik Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pendirian sekolah-sekolah rakyat yang lebih terbuka. Hal ini berbeda dengan pendirian madrasah dan sekolah-sekolah Islam yang sejak mula bersifat terbuka bagi masyarakat luas..
Uraian di atas, pada dasarnya menjelaskan bahwa eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia berasal dari proses interaksi misi Islam dengan tiga kondisi. Pertama, interaksi Islam dengan budaya lokal-pra Islam telah melahirkan pesantren. Meskipun pandangan ini masih kontroversial, tetapi pelembagaan pesantren bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari proses akulturasi Islam dalam konteks budaya asli (indigenous). Kedua, interaksi misi pendidikan Islam dengan tradisi Timur Tengah modern telah menghasilkan lembaga Madrasah, dan ketiga, interaksi Islam dengan politik pendidikan Hindia Belanda telah membuahkan lembaga sekolah Islam. Dalam perjalanan yang panjang tersebut, pendidikan telah memberikan andil besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kualitas SDM
di tanah air, meskipun sejumlah agenda penting terus dilakukan untuk menyelaraskan kebutuhan pendidikan yang berkualitas dengan perkembangan zamannya. Untuk mewujudkan pendidikan ke arah sesuai yang diinginkan, diperlukan suatu keberanian dan langkah yang kongkrit dalam menyikapi sejumlah persoalan pendidikan kita selama ini, yang pada prinsipnya sangat membutuhkan pembenahan sistem dan pembelajaran. Pembenahan dari sistem dan pembelajaran ini tersebut makin dirasa perlu untuk ditingkatkan mengingat tantangan masa depan yang jauh lebih kompleks dari
sekarang. Karena itu, pendidikan di madrasah (MI) hendaklah dilakukan secara terbuka dan dirumuskan secara jelas, agar pendidikan di MI tersebut memberikan ruang gerak yang elastis, terarah, holistik, dan tidak diskriminatif dalam memperlakukan setiap anak bangsa menuju proses pendidikan sekolah yang mandiri, profesional, dan kompetitif.
Untuk itu, ada sejumlah tawaran yang dihadapkan kepada pendidikan di
madrasah (MI) yang perlu disikapi terutama menyangkut sistem dan kinerja
madrasah, antara lain:
1. Pendidikan haruslah mampu membebaskan peserta didik dari pengaruh sistem pendidikan kolonial yang selama ini mengungkung sistem pendidikan kita menuju kemandirian, sistem pendidikan yang kaku, dan sistem pendidikan yang diskriminatif.
2. Efisiensi waktu dan usia belajar di sekolah.
3. Mengarahkan pendidikan kepada prediksi masa depan yang lebih baik (menjanjikan).
4. Mempercepat dan memperjelas arah pencapaian visi, misi, pendidikan.
5. Mewujudkan kebermaknaan pendidikan kepada masa depan yang lebih pasti bagi peserta didik, orang tua, dan masyarakat secara lebih luas terutama yang berorientasi kepada lapangan kerja.
Memberikan jaminan atas praktek-praktek pendidikan yang tidak manusiawi.
Memperlakukan peserta didik secara adil tanpa melihat ras, daerah, kelebihan dan status sosial.
8. Memberikan komitmen yang kuat atas kesadaran bersama untuk kemajuan pendidikan.
9. Pendidikan sudah seharusnya menyediakan sarana informasi kepada masyarakat tentang pendidikan yang ada dan disediakan oleh madrasah.
untuk memperkirakan sekaligus mengukur masa depan yang diinginkan dengan berbagai pertimbangan logis.
Tidak kalah menariknya juga, Everett Reimer (2000), dalam bukunya An Essay on Alternatives in Education yang menyatakan bahwa pendidikan tidak boleh mempersiapkan orang untuk suatu hal lain atau pun menjadi hasil sampingan dari aktivitas lain. Pendidikan harus merupakan suatu aktivitas yang benar-benar dimaksudkan untuk membantu manusia agar dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan atas dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungannya. Dengan demikian, pendidikan sebagai suatu investasi, haruslah didesain (dirancang) sesuai dengan kebutuhan sipemakainya, untuk memberikan kesempatan agar dapat bertindak secara cerdas dan arif. Dengan demikian, pendidikan di sekolah hendaknya diorientasikan kepada pemenuhan kebutuhan sipemakai terlepas dari adanya politik aliran. Karena, politik
Aliran, pada prinsipnya dapat menghambat tercapainya hakekat pendidikan, yang menurut H.A.R. Tilaar (1999), bahwa hakekat pendidikan itu dapat didefinisikan dengan bermacam-macam, akan tetapi dari definisi tersebut, dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu pendekatan epistemologis dan pendekatan ontologis atau metafisik. Lebih lanjut H.A.R Tilaar mengungkapkan bahwa, hakikat pendidikan tersebut dapat didekati melalui dua pendekatan, yaitu 1) Pendekatan reduksionisme, 2) Pendekatan holistik integratif.
Dari masing-masing pendekatan hakikat pendidikan tersebut, kelihatan bahwa investasi pendidikan merupakan mata rantai yang sangat panjang, menyangkut masalah pendewasaan pendidikan, tanggung jawab, religiusitas, mewujudkan visi suatu masyarakat yang diinginkan, sampai kepada kecenderungan untuk menerapkan hidup secara sosial.
Karena itu, pendidikan sekolah bagi anak bangsa ini, harus mampu membuka jaringan yang lebih luas, baik antar sekolah, maupun daerah untuk memberikan peluang yang lebih besar kepada setiap anak bangsa agar dapat menikmati pendidikan, sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa. Jaringan atau kerjasama bagi pendidikan ini, sangat diperlukan untuk mengukur tingkat kualitas, distribusi peserta didik, kesempatan, peluang, perluasan dan pengembangan pelayanan pendidikan di madrasah. Persaingan yang ketat, juga menuntut madrasah kita untuk melakukan terobosan dalam menyikapi sejumlah persoalan seperti rekrutmen peserta didik, pemunculan prestasi, penciptaan image melalui media, seringnya melakukan kontrol mutu dengan standar tertentu, serta penciptaan jaringan bagi perluasan kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan Madrasah. Bagikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Coment No Cry